Minggu, 11 Januari 2015

Pink Dress




Kita hanya perlu waktu. Kita hanya perlu jarak. Kita hanya perlu kenangan.
Dan benang merah yang kau pilin akan terikat.
Padaku ataukah padanya.

ooOoo

Pagi masih enggan beranjak dari kota kecil ini,  suasana  jalanan pun nampak sepi dan lengang. Bukan hal yang baru memang,  apalagi ini bukanlah waktu liburan ataupun weekend  untuk  kota kecil yang terletak disamping sungai  besar.  Hari yang biasa untuk kota yang biasa, dari semua kelangangan itu, kesibukan mulai menggeliat dijalanan.
Jarum jam di pergelangan tangannya  kini menunjukkan pukul  tujuh  tepat.  Rena masih diam disana, duduk di halte dekat perempatan jalan. Ia mengenakan jaket merah muda yang melapisi dress selutut yang nampak longgar di tubuh mungilnya. Disampingnya berdiri laki-laki paruh baya yang nampak sibuk  mengetik pesan dan menelepon atau berkomunikasi –entah dengan siapa. Lalu seorang ibu muda dengan tas belanjaan besar  kosong yang nampak masih mengantuk dan  beberapa anak berseragam yang mulai cemas karena tak kunjung mendapat bus.  Sesaat  setelah itu bus antar kota  berhenti dan membawa serta penghuni halte tidak termasuk Rena.  Meninggalkan gadis merah jambu itu sendiri disudut halte.
Rena tersenyum, lirih ia berujar  “Akhirnya, aku ditinggalkan...”.
Mengekor bus yang mulai menjauh, Rena menangkap sosok yang amat dikenalnya, mengenakan jaket dan jeans hitam mengendarai  motor ninja yang hitam pula.  Dengan tersenyum Rena beranjak dan melambaikan kedua tangannya.
Dan disinilah dia, di tepi jalan dengan Ri si-serba hitam- yang enggan beranjak dari motornya.
Rena membiarkan sepi bertahan, tak ada ucapan apapun yang keluar dari bibir Ri. Sebagai sepasang kekasih Rena amat memaklumi sikap dingin Ri, bagaimanapun sikap Ri, Rena selalu menyukainya, bukan tanpa alasan namun karena memang tak ada satupun alasan yang  mampir dibenaknya kenapa ia menyukainya. Ri sudah sempurna dan tak ada alasan Rena mencintainya. Ia hanya cinta, itu saja.
“Em, sekarang apa?” Rena  membuka suara,  terdengar gugup seperti biasa. Rena merutuki dirinya, awalan yang aneh untuk memulai pembicaraan. 
“Kita akan pergi, naiklah...”. Ri menyodorkan helm berwarna putih untuk Rena kenakan dan Ri sadar ucapannya masih menggantung, mungkin tidak akan memuaskan tapi ini cukup untuk mengobati penasaran Rena yang amat bertanya-tanya. 
“kita akan kencan” Ri mengakhiri . 

Bersama semilir, kenangan menguar.
 Kita berlari mengejarnya hingga kita bertemu diujung sana.
Aku masih sama  dan kau sempurna.

Keduanya berhenti di kedai samping sungai besar di tepi kota. Sungai yang menghubungkan kota kecilnya dengan kota tetangga ini adalah salah satu tempat menarik yang banyak dikunjungi warga kota. Selain ada jembatan yang cukup unik-terlihat seperti jembatan yang dibangun di masa lampau dan masih menyisakan kemegahannya. Namun, pemandangan sekitar sungailah yang menjadi alasan besar warga mengunjungi tempat ini.

 Rena  memilih satu bangku panjang di sudut balkon kedai. Ri terlihat beda. Ia memang mengenakan kemeja seperti biasa, kemeja hitam dan ia juga mengenakan jaket hitam yang biasa, tak ada yang baru. Namun melihat Ri berdiri di sana, mengantri di antara kerumunan orang yang asing dan tak mengenalnya, Rena merasa ada sesuatu yang saling menghubungkan mereka berdua dan sesuatu yang berbeda, ini tidak sama, Ri yang disana Ri yang ia kenal dan Ri yang tak ia harapkan.

“Ri..” bibir Rena bergetar sementara matanya lekat menatapi sosok Ri yang semakin mendekat dan membawa jus untuk keduanya. Air mata menetes, Rena tahu inilah saatnya.
 Rena menyeruput jus strawberi yang baru saja Ri berikan. Ri bertanya-tanya apa yang membuat Rena menangis. Gadis itu hanya menggeleng.

“Ayo naik perahu!” seorang gadis berserangam SMA  berteriak sambil menunjuk-nunjuk kearah sungai memecah kesunyian yang  mulai memayungi Ri dan Rena.
“Tidak mauuu!!” jawab malas laki-laki yang berada dibelakang si gadis SMA.
“Kenapa?!, ayolah..”
“Kau tidak tahu ya, katanya pasangan kekasih yang naik perahu di sungai itu tidak akan pernah bisa bersama” si laki-laki menjelaskan.
Terlihat gadis SMA itu terdiam.
“Kita tidak akan pernah naik perahu itu” ucap si gadis SMA.
 Keduanya lalu pergi.

Rena memandangi Ri yang terlihat tertarik dengan pembicaraan bocah SMA tadi.
“Aku jadi ingat kita yang dulu”
“Hm”
“Apa kau ingat Ri...” Rena melirihkan suaranya, hal ini membuat Ri menoleh.
“Dulu kita bersepakat untuk, menaiki pe..” Rena menelan ludah.
 Menghentikan pernyataanya yang sukses membuat Ri kaget sejenak.
“ Menaiki perahu jika kita akan putus” lanjut Rena dengan mantap.
Ri masih diam seribu bahasa. Ekspresi Ri  yang tak berubah-tetap dengan wajah tenangnnya- mengundang resah yang lebih dalam di hati Rena.
“Haha,  lupakan saja, kita masih SMA saat itu” Rena terkekeh kecil. Rena sadar ia tampak menyedihkan.

“Ren”
“Ya...”
“Hei Ri, jus ini aneh.. harusnya strawberi kan manis dan asam tapi kenapa sekarang semuanya terasa asam ya”  lanjut Rena tanpa membiarkan Ri melanjutkan perkataannya.
“Ren ada beberapa hal yang harus dibicarakan” sergah Ri.
Rena tersentak. Bulir air matanya turun.
“Ayo kita naik perahu!”. Rena berujar mantap sambil menatap Ri lekat. Ri tahu Rena hanya menguatkan hatinya. Bukanlah Rena yang berdosa kini, sepenuhnya Ri yang bersalah. Mungkin menyakitkan  tapi melihat Rena yang terus tersenyum untuknya  menjadi suatu hal yang lebih menyakitkan. Ini lebih baik meski sakit.

..Cinta ini melukaiku, perih saat selalu kucoba melangkah, tersadar bahwa akhirnya aku siap terbang dan meninggalkanmu..

Rena bukan lah orang yang suka terlalu lama menunggu, ia tahu pasti segala sesuatu bisa saja terjadi. Awalnya ia mengira hanya ia satu-satunya yang bisa membuat Ri yang seperti es mencair dan hangat. Namun, dua tahun terpisah bukanlah waktu yang sebentar. Apa yang kau harapkan dari seseorang yang selalu bilang aku ada disana nyatanya tidak. Rena bahkan tahu siapa yang telah menggantikannya selama ini. Seseorang yang jauh lebih cantik dan tinggi dari pada Rena . Fera, teman sekampus Ri  yang mempesona. Fera lah yang disana. Disaat Rena hanya bisa mengetikkan pesan di ponsel. Fera menemaninya dengan ketulusan. Inilah saatnya. Rena hanya tak mau terlalu lama menunggu karena ia tahu, Ri hanya tak sanggup meninggalkanya dan Rena tahu  Ri sangat tersiksa.  Ri pasti meninggalkanya dan dengan lebih dulu memulai, Rena tahu hal ini akan meringankan bebannya. Terkadang kita harus memilih dan mengorbankan bukan?.

Gadis itu berjalan menjauh perlahan, tak ada pikiran apapun dalam benaknya hanya air mata yang tak henti menetes. Rena berhenti sesaat, menoleh ke kiri dan menemukan Ri di sana, hanya terduduk diam dan tak melakukan apa-apa.

Ri akhirnya berjalan mendekat. Mata Ri yang datar memandang sepatu Rena, mengacuhkan dressnya, membeku di hadapan Rena , lalu matanya tak bergerak dari wajah gadis di hadapannya. Ia memandang Rena, gadis yang hampir tiga tahun menjadi kekasihnya. Ia mencoba menemukan kekecewaan dari pernyataan Rena yang barusan ia dengar. Tangannya menggenggam tangan Rena yang terasa kecil dan dingin.
“ Aku selalu menyukaimu”
“Maafkan aku Rena” Ri mengucapkanya dengan tenang namun terdengar berat dan menyakitkan bagi Rena.
“Aku tau...”
“Cukup. Kau tahu dimana letak hatiku”
Rena mengadahkan wajahnya mencoba menemukan tatapan Ri untuknya.
Rena tersenyum, selembar kehangatan merambat di antara kepekatan udara. Kedua tangan yang sebelumnya digenggam Ri kini ia tarik dan ia sembunyikan di balik saku jaketnya. Ia menarik napas dalam-dalam, ada sesuatu dalam ekspresinya yang menyimpan banyak kata. Mungkin suatu berakhir hari ini tapi di hari hari berikutnya suatu yang baru akan hadir dari segala sesuatu yang ada didunia ini bukankan semuanya akan menemui akhir. Tak ada yang sempurna dan abadi dalam bentuknya. Bahkan jika itu cinta, Rena tau abadi bukan milik masa ini. Rena masih berjalan menuggu bus yang akan membawanya kembali, ia tak pernah menoleh lagi pada Ri.

ooOoo

Sungguh aku sudah bertahan disini, diatas kekosongan yang menghampiri. Kau tanya apa aku baik-baik saja dan ku jawab tidak.  Kau tahu dimana letak hatiku, kau terpana. Tak apa akan kubiarkan disana, hatiku.... padamu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar