Kita hanya perlu waktu. Kita hanya
perlu jarak. Kita hanya perlu kenangan.
Dan benang merah yang kau pilin
akan terikat.
Padaku ataukah padanya.
ooOoo
Pagi
masih enggan beranjak dari kota kecil ini,
suasana jalanan pun nampak sepi
dan lengang. Bukan hal yang baru memang,
apalagi ini bukanlah waktu liburan ataupun weekend untuk
kota kecil yang terletak disamping sungai besar.
Hari yang biasa untuk kota yang biasa, dari semua kelangangan itu,
kesibukan mulai menggeliat dijalanan.
Jarum
jam di pergelangan tangannya kini
menunjukkan pukul tujuh tepat.
Rena masih diam disana, duduk di halte dekat perempatan jalan. Ia
mengenakan jaket merah muda yang melapisi dress selutut yang nampak longgar di
tubuh mungilnya. Disampingnya berdiri laki-laki paruh baya yang nampak
sibuk mengetik pesan dan menelepon atau
berkomunikasi –entah dengan siapa. Lalu seorang ibu muda dengan tas belanjaan
besar kosong yang nampak masih mengantuk
dan beberapa anak berseragam yang mulai
cemas karena tak kunjung mendapat bus.
Sesaat setelah itu bus antar kota berhenti dan membawa serta penghuni halte
tidak termasuk Rena. Meninggalkan gadis
merah jambu itu sendiri disudut halte.
Rena
tersenyum, lirih ia berujar “Akhirnya,
aku ditinggalkan...”.
Mengekor
bus yang mulai menjauh, Rena menangkap sosok yang amat dikenalnya, mengenakan
jaket dan jeans hitam mengendarai motor
ninja yang hitam pula. Dengan tersenyum
Rena beranjak dan melambaikan kedua tangannya.
Dan
disinilah dia, di tepi jalan dengan Ri si-serba hitam- yang enggan beranjak
dari motornya.
Rena
membiarkan sepi bertahan, tak ada ucapan apapun yang keluar dari bibir Ri.
Sebagai sepasang kekasih Rena amat memaklumi sikap dingin Ri, bagaimanapun
sikap Ri, Rena selalu menyukainya, bukan tanpa alasan namun karena memang tak
ada satupun alasan yang mampir
dibenaknya kenapa ia menyukainya. Ri sudah sempurna dan tak ada alasan Rena mencintainya.
Ia hanya cinta, itu saja.
“Em,
sekarang apa?” Rena membuka suara, terdengar gugup seperti biasa. Rena merutuki
dirinya, awalan yang aneh untuk memulai pembicaraan. “Kita akan pergi, naiklah...”. Ri menyodorkan helm berwarna putih untuk Rena kenakan dan Ri sadar ucapannya masih menggantung, mungkin tidak akan memuaskan tapi ini cukup untuk mengobati penasaran Rena yang amat bertanya-tanya.
“kita akan kencan” Ri mengakhiri .
Bersama semilir, kenangan menguar.
Kita berlari mengejarnya hingga kita bertemu
diujung sana.
Aku masih sama dan kau sempurna.
Keduanya
berhenti di kedai samping sungai besar di tepi kota. Sungai yang menghubungkan
kota kecilnya dengan kota tetangga ini adalah salah satu tempat menarik yang
banyak dikunjungi warga kota. Selain ada jembatan yang cukup unik-terlihat
seperti jembatan yang dibangun di masa lampau dan masih menyisakan
kemegahannya. Namun, pemandangan sekitar sungailah yang menjadi alasan besar
warga mengunjungi tempat ini.
Rena
memilih satu bangku panjang di sudut balkon kedai. Ri terlihat beda. Ia
memang mengenakan kemeja seperti biasa, kemeja hitam dan ia juga mengenakan
jaket hitam yang biasa, tak ada yang baru. Namun melihat Ri berdiri di sana,
mengantri di antara kerumunan orang yang asing dan tak mengenalnya, Rena merasa
ada sesuatu yang saling menghubungkan mereka berdua dan sesuatu yang berbeda,
ini tidak sama, Ri yang disana Ri yang ia kenal dan Ri yang tak ia harapkan.
“Ri..”
bibir Rena bergetar sementara matanya lekat menatapi sosok Ri yang semakin
mendekat dan membawa jus untuk keduanya. Air mata menetes, Rena tahu inilah
saatnya.
Rena menyeruput jus strawberi yang baru saja
Ri berikan. Ri bertanya-tanya apa yang membuat Rena menangis. Gadis itu hanya
menggeleng.
“Ayo
naik perahu!” seorang gadis berserangam SMA
berteriak sambil menunjuk-nunjuk kearah sungai memecah kesunyian
yang mulai memayungi Ri dan Rena.
“Tidak
mauuu!!” jawab malas laki-laki yang berada dibelakang si gadis SMA.
“Kenapa?!,
ayolah..”
“Kau
tidak tahu ya, katanya pasangan kekasih yang naik perahu di sungai itu tidak
akan pernah bisa bersama” si laki-laki menjelaskan.
Terlihat
gadis SMA itu terdiam.
“Kita
tidak akan pernah naik perahu itu” ucap si gadis SMA.
Keduanya lalu pergi.
Rena
memandangi Ri yang terlihat tertarik dengan pembicaraan bocah SMA tadi.
“Aku
jadi ingat kita yang dulu”
“Hm”
“Apa
kau ingat Ri...” Rena melirihkan suaranya, hal ini membuat Ri menoleh.
“Dulu
kita bersepakat untuk, menaiki pe..” Rena menelan ludah.
Menghentikan pernyataanya yang sukses membuat
Ri kaget sejenak.
“
Menaiki perahu jika kita akan putus” lanjut Rena dengan mantap.
Ri
masih diam seribu bahasa. Ekspresi Ri
yang tak berubah-tetap dengan wajah tenangnnya- mengundang resah yang
lebih dalam di hati Rena.
“Haha, lupakan saja, kita masih SMA saat itu” Rena
terkekeh kecil. Rena sadar ia tampak menyedihkan.
“Ren”
“Ya...”
“Hei
Ri, jus ini aneh.. harusnya strawberi kan manis dan asam tapi kenapa sekarang
semuanya terasa asam ya” lanjut Rena
tanpa membiarkan Ri melanjutkan perkataannya.
“Ren
ada beberapa hal yang harus dibicarakan” sergah Ri.
Rena
tersentak. Bulir air matanya turun.
“Ayo
kita naik perahu!”. Rena berujar mantap sambil menatap Ri lekat. Ri tahu Rena
hanya menguatkan hatinya. Bukanlah Rena yang berdosa kini, sepenuhnya Ri yang
bersalah. Mungkin menyakitkan tapi
melihat Rena yang terus tersenyum untuknya
menjadi suatu hal yang lebih menyakitkan. Ini lebih baik meski sakit.
..Cinta
ini melukaiku, perih saat selalu kucoba melangkah, tersadar bahwa akhirnya aku
siap terbang dan meninggalkanmu..
Rena
bukan lah orang yang suka terlalu lama menunggu, ia tahu pasti segala sesuatu
bisa saja terjadi. Awalnya ia mengira hanya ia satu-satunya yang bisa membuat
Ri yang seperti es mencair dan hangat. Namun, dua tahun terpisah bukanlah waktu
yang sebentar. Apa yang kau harapkan dari seseorang yang selalu bilang aku ada
disana nyatanya tidak. Rena bahkan tahu siapa yang telah menggantikannya selama
ini. Seseorang yang jauh lebih cantik dan tinggi dari pada Rena . Fera, teman
sekampus Ri yang mempesona. Fera lah
yang disana. Disaat Rena hanya bisa mengetikkan pesan di ponsel. Fera
menemaninya dengan ketulusan. Inilah saatnya. Rena hanya tak mau terlalu lama
menunggu karena ia tahu, Ri hanya tak sanggup meninggalkanya dan Rena tahu Ri sangat tersiksa. Ri pasti meninggalkanya dan dengan lebih dulu
memulai, Rena tahu hal ini akan meringankan bebannya. Terkadang kita harus
memilih dan mengorbankan bukan?.
Gadis
itu berjalan menjauh perlahan, tak ada pikiran apapun dalam benaknya hanya air
mata yang tak henti menetes. Rena berhenti sesaat, menoleh ke kiri dan
menemukan Ri di sana, hanya terduduk diam dan tak melakukan apa-apa.
Ri
akhirnya berjalan mendekat. Mata Ri yang datar memandang sepatu Rena,
mengacuhkan dressnya, membeku di hadapan Rena , lalu matanya tak bergerak dari
wajah gadis di hadapannya. Ia memandang Rena, gadis yang hampir tiga tahun
menjadi kekasihnya. Ia mencoba menemukan kekecewaan dari pernyataan Rena yang
barusan ia dengar. Tangannya menggenggam tangan Rena yang terasa kecil dan
dingin.
“
Aku selalu menyukaimu”
“Maafkan
aku Rena” Ri mengucapkanya dengan tenang namun terdengar berat dan menyakitkan
bagi Rena.
“Aku
tau...”
“Cukup.
Kau tahu dimana letak hatiku”
Rena
mengadahkan wajahnya mencoba menemukan tatapan Ri untuknya.
Rena
tersenyum, selembar kehangatan merambat di antara kepekatan udara. Kedua tangan
yang sebelumnya digenggam Ri kini ia tarik dan ia sembunyikan di balik saku
jaketnya. Ia menarik napas dalam-dalam, ada sesuatu dalam ekspresinya yang
menyimpan banyak kata. Mungkin suatu berakhir hari ini tapi di hari hari
berikutnya suatu yang baru akan hadir dari segala sesuatu yang ada didunia ini
bukankan semuanya akan menemui akhir. Tak ada yang sempurna dan abadi dalam
bentuknya. Bahkan jika itu cinta, Rena tau abadi bukan milik masa ini. Rena
masih berjalan menuggu bus yang akan membawanya kembali, ia tak pernah menoleh
lagi pada Ri.
ooOoo
Sungguh aku sudah bertahan disini,
diatas kekosongan yang menghampiri. Kau tanya apa aku baik-baik saja dan ku
jawab tidak. Kau tahu dimana letak
hatiku, kau terpana. Tak apa akan kubiarkan disana, hatiku.... padamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar